CERITA DEWASA PENARI JALANAN CANTIK MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN CANTIK MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN CANTIK MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak28 Semuanya orang didalamnya perlu bertarung dan berkorban agar tak tersisih, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi berarti gak sekedar itu. Denok  bermakna montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda merupakan seorang penari, dan masih ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti di saat satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak miliki banyak hutang dikarenakan edan judi, serta beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang sendu lantaran Bapak tidak ada, namun juga kebingungan sebab beberapa waktu selesai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil alih agen judi yang berikan hutang terhadap Bapak. Kami tidak miliki tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, semoga di situ mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima sebab dikira pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak butuh ijazah, lawan begitu banyak. Selanjutnya sehabis lumayan lama menyimak beberapa peluang yang ada, Simbok memastikan untuk manfaatkan keterampilan kami. Dengan modal kemeja serta peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun awal kuliah, dan yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan anyar, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat beberapa lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya gak enteng pun cari uang dengan semacam ini, paling-paling yang kami temukan cukup buat makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan tidak di seluruhnya tempat kami dapat memperoleh pemirsa yang siap bayar, kadang kami justru ditendang atau dihardik. Sehabis lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekitarnya. Kami juga sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, asal dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat buat mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Walau sering helai-lembar itu dikasihkan ke kami oleh kurang santun misalkan dengan diumpetkan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memang merayu? Tidak tahu ya. Saya sendiri tak berasa elok. Selaku anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok  sejak dulu selalu mengarahkan serta mengingati saya buat menjaga badan walaupun lewat cara simple, jadi biarpun sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pun sich jika di sebut saya montok. Tak tahu mengapa, walaupun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya jadi bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus takut dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya  cepat lantaran dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terheran-herannya, biarpun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Sampai usia begitu lantas beliau masih elok. cerpensex.com Apa lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan gak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus terasa buruk lho jika tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya pikirkan, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir pula diberikan gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membikin suka yang tonton."


Lama-kelamaan saya biasa pun menggunakan dandanan semacam itu, malahan saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari tercipta penganten, nanti kalaupun nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi memang yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, bencana tiba kembali. Waktu tengah nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terbantu. Simbok wafat di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya sejak mulai ketabrak pula Simbok sudah tidak ada keinginan, namun entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya menyaksikannya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, sebab itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara semacam itu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, jadi harus berutang kemanapun. Saya tidak dapat menyelenggarakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di kontrak saja lantaran sangat sendu. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis serta saya  perlu lawan beberapa tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu persoalan saya . Maka, satu minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya supaya tidak terlihat beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya malahan berjumpa dengan ibu yang punyai sewa. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya sekedar dapat ngomong maaf, dan sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, ucapnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya hambatan untuk saya. Saya pengin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN CANTIK MENJUAL DIRI


Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, dan sehabis dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala banyak pemikiran, bagaimana tekniknya biar kelak kalaupun pulang telah memiliki cukup uang buat bayar sewaan. Belum beberapa utang yang lain. Mendekati siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan lagi hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya kala itu sekedar mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, barangkali umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang namun beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang terhadap Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendekati Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam serta berada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Namun saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya udah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang baru saja ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya geram tetapi tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari buat membayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya tidak punyai apapun, harus jual apa?"


Namun lalu tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya serta merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa omong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Kalaupun kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya butuh uang, namun apa harus melalui cara sebagai berikut? Tetapi jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya bakalan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak miliki opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga tidak terdengaran. Bila saja tidak ketutupan bedak, kemungkinan telah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus menyaksikani lantai, tidak berani membawa kepala, namun adakalanya saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memperlihatkan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memonitor sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya selalu kuatir. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Jika tidak mau ya udah," ucapnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada laki laki terang-terangan ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi ditempatkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, gak yakin rasanya. Awalnya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat duit sekitar itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena barangkali barusan saya malu serta pelan satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan mengungkap kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar suara jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, hingga sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya telah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa mestinya saya lepas ?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun tidak tahu mengapa, saya pula kok merasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan terus terusan memandang sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Mari donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya terlihat.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama